Lautan Hitam Kekerasan Anak Di Indonesia

       Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak: pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak.

       Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak memunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta.

      Sedangkan perlindungan anak adalah istilah yang digunakan secara luas, namun kadang-kadang tidak dipahami secara jelas. Di bawah Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), anak memiliki hak asasi manusia (HAM) khusus atas perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah dan eksploitatif. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin adanya lingkungan protektif bagi setiap anak yang melindungi mereka dari perlakuan salah eksploitasi, kekerasan, penelantaran dan diskriminasi. Saat melindungi anak secara optimal diperlukan lingkungan yang protektif, di lingkungan mana setiap orang menjunjung tinggi tanggung jawab untuk menjamin bahwa anak benar-benar dilindungi dari perlakuan salah, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi.

       Hak Asasi Manusia(HAM) adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrat, universal dan abadi sebagai anugerah tuhan yang maha esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.

      Pemerintah menyelenggarakan perlindungan anak dengan membuat Komisi Perlindungan Anak berdasarkan amanat Keppres Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

      Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya jumlah pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak yang menghiasi media massa. Kekerasan seksual tercatat sebagai kasus yang paling kerap muncul di pemberitaan media. Berdasarkan hasil kajian Indonesia Indicator (I2), dari 343 media online di seluruh Indonesia, baik nasional maupun lokal pada periode 1 Januari 2012 hingga 19 Juni 2015, faktor utama penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor eksternal atau sosial, terutama kemiskinan.

    Di tahun 2015 Pembunuhan Engeline Megawe merupakan peristiwa kekerasan terhadap anak perempuan berusia delapan tahun yang terjadi di Kota Denpasar, Bali pada tanggal 16 Mei 2015. kehilangan Angeline dari keluarga angkatnya melalui sebuah laman di facebook berjudul "Find Angeline-Bali's Missing Child". Besarnya perhatian dari berbagai pihak membuat terungkapnya kenyataan bahwa Engeline selama ini tinggal di rumah yang tidak layak huni dan mendapat pengasuhan yang kurang baik dari orangtua angkatnya bahkan mendapatkan penyiksaan baik fisik maupun mental. Akibat sikap yang sangat tertutup dan tidak kooperatif dari ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe, memunculkan dugaan bahwa Engeline hilang bukan karena diculik melainkan karena dibunuh. bahkan sebelum jenazahnya ditemukan. Jasad Engeline kemudian ditemukan terkubur di halaman belakang rumahnya di Jalan Sedap Malam, Denpasar, Bali, pada hari Rabu tanggal 10 Juni 2015 dalam keadaan membusuk tertutup sampah di bawah pohon pisang setelah polisi mencium bau menyengat dan melihat ada gundukan tanah di sana. Selanjutnya polisi menyelidiki lebih mendalam dan menetapkan dua orang tersangka pembunuh, yaitu Agus Tay Hamba May, pembantu rumah tangga, dan Margriet Christina Megawe, ibu angkatnya.

     Pada kasus ini kapasitas Komisi Perlindungan Anak Indonesia masih sangat terbatas dengan peraturan perundang-undangan yang dapat bertindak sebatas mediator dalam melakukan penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Seharusnya lebih banyak melakukan advokasi kebijakan, melakukan sosialisasi terhadap peraturan perundang-undangan sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga masyarakat dapat mengerti hak dan kewajiban anak dan masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

     Banyaknya kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya merupakan salah satu faktor yang dapat merusak mental anak yang seharusnya dapat tumbuh kembang dengan baik dan mendapatkan haknya sebagai seorang anak sebagai harkat dan martabatnya sejak lahir. Untuk itu pentingnya sosialisasi mengenai hak anak serta hak dan kewajiban orang tua dan masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak sehingga masyarakat dapat mengerti dan memahami situasi serta memberikan pendidikan yang baik bagi anak tanpa menggunakan kekerasan.

     Berdasarkan penelitian di Lembaga Advokasi Anak, mengenai kendala-kendala dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua, yaitu:
1) minimnya pemahaman mengenai hak anak, sehingga mereka berfikir
bahwa kekerasan terhadap anak adalah hak orang tua; dan
2) kecenderungan masyarakat menganggap bahwa anak merupakan hak
milik orang tua, padahal menurut Undang-Undang masyarakat memiliki
hak untuk melindungi anak.

    Upaya Penyelenggaraan perlindungan anak telah dilakukan oleh pemerintah dengan mendirikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, maka sudah seharusnyalah melaksanakan kinerjanya benar-benar secara efektif dan professional sehingga perlindungan anak dapat benar-benar ditegakkan Dan Diharapkan bagi masyarakat dapat mengerti dan memahami hak anak dan juga hak dan kewajibannya sebagai masyarakat sehingga penyelenggaraan perlindungan anak dapat terlaksana semaksimal mungkin.

REFERENSI:


Comments

Popular posts from this blog

STANDARD OPERATING PROCEDURES (SOP)

Kode Etik, Profesi Insinyur

ETIKA BISNIS